Belajar Dari Abu Bakar Dan Umar

Belajar Dari Abu Bakar Dan Umar

Oleh: Dani Asmara

GONJANG-ganjing para petinggi negeri akhir-akhir ini tampaknya disebabkan satu hal, yaitu ambisi untuk menjadi pemimpin. Berambisi menduduki suatu jabatan adalah manusiawi selama diupayakan dengan jalan benar sesuai prosedur dan norma yang berlaku. Namun layak dan tidaknya seseorang menjadi pemimpin hendaknya tidak diukur oleh kepantasan pribadi namun sejatinya berdasar pada kepatutan dan penilaian orang lain termasuk penilaian orang yang akan dipimpinnya.

Dalam Islam masalah kepemimpinan sangatlah penting. Bahkan saking pentingnya proses kepemimpinan, pemakaman Rasulullah SAW sempat tertunda selama dua hari. Dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah dijelaskan bahwa ada dua hal yang menyebabkan pemakaman Nabi Saw tertunda. Pertama, masalah yang berkaitan dengan tempat di mana Nabi SAW harus dimakamkan. Seperti yang kita ketahui Nabi SAW adalah asli keturunan Mekkah namun hijrah ke Madinah. Maka menurut Kaum Muhajirin (Makkah) setelah meninggal Nabi SAW harus dimakamkan di Mekkah.

Namun, lain halnya menurut Kaum Anshor (Madinah), yang berpendapat Nabi SAW harus dimakamkan di Madinah karena walau keturunan Mekkah tapi Nabi SAW sudah hijrah ke Madinah. Persoalan pertama ini cepat mendapat penyelesaiannya setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA membacakan ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa setiap Rasul Allah dimakamkan di tempat terakhir meninggal dunia. Karena Rasulullah SAW meningggal di kamar Siti Aisyah RA, maka di situ pula beliau dimakamkan.

Kedua, adalah persoalan kepemimpinan. Umat Islam pada saat itu sepakat tidak akan memakamkan Rasul SAW sebelum ada pemimpin atau khalifah pengganti. Persoalan ini menjadi rumit ketika tidak ada seorang pun yang dianggap pantas menggantikan Rasulullah SAW. Muhajirin dan Anshar resah atas kewenangan siapa yang berhak menggantikan Rasulullah SAW. Menurut Muhajirin orang Mekkah lebih berhak meneruskan kepemimpinan Rasulullah SAW. Namun kaum Anshor juga memiliki pemikiran yang sama, orang Madinah juga berhak meneruskan kepemimpinan Nabi SAW.
Pada waktu itu orang Anshor khawatir kalau orang Mekkah akan meninggalkan Madinah. Maka mereka berkumpul di Saqifah Bani Saidah dan melakukan musyawarah serta sepakat memilih Sa’ad bin Ubadah RA sebagai khalifah. Namun kaum Quraisy yang sebagian besar adalah orang Mekah tidak menerima kepemimpinan ini. Kepemimpinan harus tetap dari Mekkah dan Muhajirin tidak akan meninggalkan Madinah. Maka Umar Bin Khoththob RA maju dan mengusulkan membaiat Abu Bakar Shidiq RA menjadai khalifah pengganti.

Menurut Umar, Abu Bakar RA lebih pantas menjadi pemimpin menggantikan Nabi SAW dengan beberapa alasan diantaranya, Ia adalah shahabat yang ditunjuk Nabi SAW untuk menemani hijrah ke Yatsrib (Madinah).  Kemudian ketika Nabi SAW sakit keras, Abu Bakar RA adalah orang yang ditunjuk untuk menggantikan beliau sebagai imam dalam shalat.  Abu Bakar RA juga dikenal sebagai golongan tua (orang nomor dua dalam Islam). Banyak yang masuk Islam berkat Abu Bakar RA diantaranya Utsman bin Affan RA dan Abdur Rahman bin Auf RA serta banyak budak yang dimerdekakan termasuk Bilal bin Rabah RA.

Tetapi ternyata Abu Bakar RA menolak untuk menjadi Khalifah dengan alasan merasa tidak pantas dan mengusulkan agar Umar Bin Khoththob RA yang berani dan kuat, lebih pantas menggantikan Rasulullah SAW. Namun ternyata Umar Bin Khoththob RA juga menolak usulan Abu Bakar RA, menurutnya Abu Bakar RA lah justeru yang lebih pantas menggantikan Nabi SAW dengan mengatakan kalau Abu Bakar RA jauh lebih bijaksana yang kemudian disetujui oleh semua orang yang hadir di Saqifah Bani Syaidah.

Akhirnya, pada hari kedua semua penduduk membaiat Abu Bakar RA sebagai Khalifah menggantikan Rasulullah SAW. Dan dalam Khutbah sambutannya Abu Bakar RA menyampaikan ”Ketahuilah bahwa Aku bukanlah yang terbaik diantara kalian, Jika Aku benar maka ikutilah Aku dan jika Aku tidak mentaati Allah dan Rasulnya maka ingatkanlah Aku dan tidak ada kewajiban  kalian untuk taat padaku”.

Luar biasa, walaupun Abu Bakar RA dan Umar Bin Khoththob RA menurut prosedur hukum layak menjadi pemimipin, namun mereka berdua memiliki akhlak terpuji. Keduanya tidak berambisi menjadi pemimpin, bahkan sama-sama berkampanye untuk tidak memilih dirinya menjadi pemimpin tertinggi di kalangan umat Islam.

Inilah etika pemimpin dalam Islam, walau dengan kapasitas dan kualitas keimanan yang mumpuni namun tetap merasa tidak pantas menjadi pemimpin. Karena sadar betul menjadi pemimpin adalah amanah yang sangat berat dan menuntut tanggung-jawab, sesuai sabda Rasulullah SAW “Kepemimpinan adalah sebuah amanah, dan pada hari kiamat bisa menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali mereka yang mendapatkan jabatan itu dengan cara yang benar, atau karena ia memang layak untuk mendapatkannya, serta ia menunaikan tugas dan tanggung jawab yang ada pada jabatan itu.”

Semoga keteladanan Abu Bakar RA dan Umar Bin Khoththob RA ini menjadi inspirasi buat para petinggi negeri ini bahwa menjadi pemimpin adalah amanah yang berat karena harus dipertanggung-jawabkan tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak, kecuali bagi orang-orang yang berhak mendapatkanya. Wallahu Allam. ***


Lebih baru Lebih lama