BERUBAH ATAU PUNAH
Oleh: Dr. H. Adhian Husaeni
~Alhamdulillah At-Taqwa College mempunyai misi strategis menyiapkan generasi yang berpribadi muslim, berdaya saing global, menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme, InsyaAllah.~ (Prof. Dr. Nanang Fattah, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung).
PADA hari Senin, 28 Januari 2019, bersama dua guru Pesantren at-Taqwa Depok, saya berkunjung ke rumah Prof. Dr. Nanang Fattah, guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, di Kabupaten Bandung Barat. Selama tiga jam (19.00-22.00 WIB) kami berdiskusi. Di usianya yang sudah 68 tahun, Prof. Nanang Fattah masih tampak segar bugar, selalu bersemangat dalam berbicara.
Meskipun sudah beberapa kali berjumpa, baru malam itu saya mendapatkan gambaran yang jelas tentang ide-ide segar Prof. Nanang tentang reformasi pendidikan. Salah satu yang menarik adalah gagasannya tentang standar pendidikan. Menurutnya, pendidikan sebaiknya berpegang pada satu standar kompetensi, yaitu standar kompetensi lulusan. “Pendidikan itu based on result, bukan based on process,” tegas pakar manajemen pendidikan ini.
Untuk mencapai hasil pendidikan, bisa saja dilakukan melalui berbagai proses. Karena itulah, sepatutnya pendidikan tidak bersifat kaku dalam menentukan proses. Sekolah atau kampus bukan pabrik. Yang utama bukan seorang belajar apa saja, dimana, dan berapa lama, tetapi yang lebih penting adalah, ia bisa apa. Tiga hal yang harus dimiliki lulusan Perguruan Tinggi, yaitu integritas, kompetensi, dan inovasi.
Dalam artikelnya yang berjudul “Perguruan Tinggi Menyambut Era Disrupsi”, Rektor Universitas Negeri Semarang, Prof. Dr. Fathur Rokhman menulis, bahwa di era disrupsi, PERUBAHAN besar dan mendasar terjadi hampir di setiap bidang kehidupan. Perubahan tidak terjadi secara bertahap seperti orang meniti tangga, tetapi lebih menyerupai ledakan gunung berapi yang meluluhlantakkan ekosistem lama dan menggantinya dengan ekosistem baru yang sama sekali berbeda.
“Institusi bisnis adalah “korban” yang terdampak paling cepat. Puluhan perusahaan besar tumbang dalam waktu singkat akibat muncul pesaing baru yang tak terramalkan sebelumnya. Lembaga pemerintah seperti perguruan tinggi memang belum terkena dampak secara besar-besaran. Namun pelan tapi pasti, disrupsi juga mengancam eksistensi lembaga pemerintah. Bahkan dalam bentuk yang paling ekstrim, disrupsi juga akan mengancam eksistensi negara. Karena itulah, pepatah lama “berubah atau punah” benar-benar menemukan tajinya,” tulis Prof Fathur Rokhman.
Prof. Fathur Rokhman menyebutkan, agar selamat menghadapi era disrupsi, maka perguruan tinggi harus menyelesaikan dua persoalan internal yang membelitnya.
Pertama, harus lincah merespon perubahan. Masalahnya, sebagai “alat negara”, perguruan tinggi cenderung terikat regulasi ketat yang disusun pemerintah. Hak dan kewajibannya dibatasi secara ketat sehingga kelincahannya dalam merespon perubahan cenderung kurang.
Kedua, perguruan tinggi di Indonesia masih menganut paradigma positivisme. Padahal, positivisme kurang apresiatif terhadap perubahan. Positivisme mengasumsikan segala sesuatu bersifat pasti dan cenderung tetap; cenderung membaca perubahan sebagai proses yang terprediksikan. Padahal, faktanya, jumlah variabel dalam perubahan bisa tidak terbatas dengan peran dan pola relasi yang terus berubah. Paradigma semacam inimembuat perguruan tinggi terkungkung oleh pagar yang dibuatnya sendiri.
Karena itu, ia menyarankan, agar perguruan tinggi harus lebih peka terhadap perubahan. “Mau tidak mau kekakuan birokrasi harus ditinggalkan, lebih terbuka terhadap gagasan baru, dan lebih reflektif terhadap dirinya,” begitu saran Rektor Universitas Negeri Semarang dalam menyongsong era disrupsi.
Era Kuliah Online
Sekarang zaman kuliah online. Mahasiswa tidak perlu datang ke kampus atau ke negara asing. Cukup kuliah dari rumah atau dari negara asal, tanpa perlu meninggalkan aktivitas keseharian. Semua aktivitas perkuliahan bisa dilakukan secara virtual. Selain praktis, simpel, biaya kuliah online pun lebih murah. Bisa berkurang sampai 40%.
Beberapa kampus ternama di AS sudah menyelenggarakan kuliah online, seperti University of New Mexico, University of Oregon, The Ohio State University, Pennsylvania State University, dan University of Florida. Konon, katanya, kampus-kampus ini memiliki reputasi global. Meskipun fleksibel, katanya, lulusan kuliah online dijamin memiliki kualitas yang sama dengan kuliah tradisional.
Konon, oleh US News and World Report, program kuliah online tingkat sarjana The Ohio State University Online ditetapkan sebagai salah satu Program Online Sarjana Terbaik. Program ini mempersiapkan semua mahasiswa untuk kesuksesan karir jangka panjang.
Di Indonesia, program kuliah online juga semakin ‘ngetren’ dan makin disukai. Selain praktis, juga biayanya lebih murah. Kini, berbagai kampus di Indonesia menawarkan program kuliah online atau blended learning.
Kenapa metode ini menjadi pilihan? Kata sebuah promosi: ada berbagai keuntungan dengan metode itu: fleksibilitas jadwal belajar, proses belajar yang bisa disesuaikan dengan kemampuan setiap individu, serta lebih hemat biaya.
Sejumlah universitas di Jakarta kini bergabung dengan satu provider jasa layanan kuliah online, untuk menyelenggarakan model pembelajaran blended learning. Sebanyak 75 persen porsi kuliah dengan sistem online, dan 25 persen tatap muka, yakni, pada awal kuliah, Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester.
Memang, pemerintah secara resmi telah meluncurkan program nasional kuliah online. Pada Mei 2018 lalu, Kemenristekdikti meluncurkan “Sistem Pembelajaran Dalam Jaringan (Spada)” perguruan tinggi yang didukung dengan fasilitas sistem Indonesian Research and Education Network (Idren). Sistem pembelajaran ini mendukung program perkuliahan jarak jauh dalam meningkatkan aksesibilitas masyarakat Indonesia terhadap perguruan tinggi.
Dimana Akhlak Mulia?
UUD 1945 pasal 31 (c) mengamanahkan kepada pemerintah agar menyelenggarakan satu sistem pendidikan yang meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Nabi Muhammad saw diutus untuk menyempurnakan akhlak. Jatuh bangunnya satu bangsa tergantung kepada kualitas akhlaknya. Itu rumus baku. Maka, lagu Indonesia Raya pun mengamanahkan: bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!
Jadi, menurut UUD 1945, pendidikan bukan sekedar proses membentuk pekerja atau buruh yang terampil. Tetapi proses membentuk manusia yang baik. Dalam istilah Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia yang baik (good man). Manusia yang baik adalah manusia yang beradab. Maka, inti pendidikan adalah proses penanaman adab dalam diri seseorang (inculcation of adab).
Ingat, adab atau akhlak mulia itu harus ditanamkan dalam diri seseorang. Bukan sekedar diajarkan. Maka, proses itu perlu keikhlasan dan kesungguhan. Untuk itu, diperlukan adanya keteladanan, pembudayaan, dan disiplin penegakan aturan.
Majalah Wasita, Jilid I No.2, November 1928, menerbitkan artikel Ki Hajar Dewantara berjudul “Sistem Pondok dan Asrama Itulah Sistem Nasional”. Menurut Ki Hajar hakikat pesantren adalah terjadinya proses interaksi intensif antara kyai dan santri, sehingga terjadi proses pengajaran dan pendidikan. “Mulai jaman dahulu hingga sekarang rakyat kita mempunyai rumah pengajaran yang juga menjadi rumah pendidikan, yaitu kalau sekarang “pondok pesantren”, kalau jaman kabudan dinamakan “pawiyatan” atau “asrama”. (Lihat, buku Ki Hajar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Merdeka (I, Pendidikan), 2013, hlm. 370-371).
Dalam berbagai tulisannya, Ki Hajar Dewantara mengecam keras model pendidikan Barat yang hanya menekankan pada aspek intelektualitas. Kata Ki Hajar, “Mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak-anak kita, supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan bersusila.” (Ibid, hlm. 482).
Dengan semakin menjamur dan ngetren-nya model kuliah online, bisa dirasakan dan dibayangkan, apa yang sedang dan akan terjadi dalam dunia pendidikan. Pendidikan adab dan akhlak mulia semakin tidak mudah dilaksanakan! Padahal, inilah intisari pendidikan!
Jika pendidikan akhlak gagal, maka orang-orang pintar – keluaran perguruan tinggi – akan menjadi tidak beradab dan berakhlak bejat. Manusia-manusia seperti ini akan lebih merusak bangsa dan negara dibandingkan orang-orang yang kurang ilmunya.
Memang tragis, jika pendidikan hanya bertujuan mencetak karyawan terampil. Tetapi lebih tragis lagi, tujuan itu pun tidak tercapai. Sarjana melimpah, tetapi tidak siap pakai di dunia kerja. (https://edukasi.kompas.com/read/2018/09/06/13140861/sarjana-melimpah-tapi-perusahaan-sulit-dapat-tenaga-kerja-siap-pakai). Fakta lain, 87% mahasiswa Indonesia salah ambil jurusan! Nah, lho!
Saatnya, At-Taqwa College!
Di era disrupsi seperti inilah diperlukan bentuk lembaga pendidikan tinggi berbasis pesantren seperti at-Taqwa College. Mengapa? Sebab, di at-Taqwa College, mahasiswa/mahasantri dididik dengan konsep pendidikan berbasis adab. Proses penanaman adab atau akhlak mulia ini tidak bisa digantikan sepenuhnya oleh sistem kuliah online. Jadi, di era disrupsi, kehadiran at-Taqwa College dan perguruan tinggi sejenisnya, memang tepat dan perlu.
Penting dicatat, bahwa dalam pendidikan, adab dan akhlak mulia sepatutnya lebih didahulukan daripada ilmu, agar lulusannya tidak menjadi penjahat yang berilmu. Inilah konsep baku pendidikan yang pernah dirumuskan oleh Umar bin Khathab RA: “taddabū tsumma ta’allamū.” (beradablah kalian, kemudian berilmulah kalian).
Karena pimpinan dan mahasiswa tinggal di pesantren, maka proses penanaman nilai-nilai adab dan akhlak mulia dapat berjalan lebih intensif. Masalah adab dan akhlak ini jangan dianggap remeh, karena justru inilah aspek terpenting dalam pendidikan. Jika adab sudah tertanam, maka penguasaan ilmu akan menyusul. Sebab, salah satu adab penting adalah adab dalam mencintai dan menghargai ilmu. Manusia beradab akan mengejar ilmu-ilmu yang bermanfaat dengan sungguh-sungguh.
Juga, di at-Taqwa College, mahasiswa dibekali dengan ilmu-ilmu fardhu ain dan fardhu kifayahsecara proporsional. Mereka dibekali dengan pemikiran Islam yang benar, sekaligus kemampuan menangkal dan mengkoreksi pemikiran-pemikiran kontemporer yang merusak iman dan akhlak mulia. Karena itulah, selain mendapatkan mata kuliah Islamic Worldview, filsafat ilmu, dan beberapa bidang ulumuddin, mahasiswa juga dibekali mata kuliah tentang pemikiran-pemikiran kontemporer selama enam semester.
Untuk kesiapan menghadapi era disrupsi, mahasiswa dibekali dengan ilmu dan keahlian yang diperlukan, khususnya dua kompetensi unggulan, yaitu Teknologi Informasi dan jurnalistik. Ditambah lagi dengan ilmu kewirausahaan dan keahlian mendidik (menjadi guru). Dengan itu, soft skill para mahasiswa lebih mudah diinternalisasikan.
Maka, insyaAllah, lulusan at-Taqwa College akan mampu menjaga keimanan dan akhlaknya dalam menghadapi tantangan globalisasi. Lebih daripada itu, mereka mampu menjadi pelanjut perjuangan para Nabi, menjadi para pemimpin yang baik dalam berbagai bidang kehidupan. (Tentang at-Taqwa College dan kurikulumnya.
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, pakar pemikiran Islam internasional, memiliki harapan besar terhadap at-Taqwa College: “InsyaAllah at-Taqwa College will continue the great and integrated tradition of Islamic education especially the independent spirit of Imam Zarkasyi at Gontor and the comprehensive intellectual, ethical and civilizational vision of Prof SMN al-Attas at ISTAC! It deserves our whole-hearted support.”
Sesuai konsep ilmu dalam Islam, at-Taqwa College menekankan keikhlasan dan kesungguhan dalam mencari ilmu. Meskipun bersifat non-formal dan TIDAK memberikan gelar akademik, kurikulum at-Taqwa College dirancang setaraf dengan pendidikan tingkat S-1, dengan jumlah SKS sekitar 140, termasuk penulisan skripsi. Secara bersamaan, mahasiswa bisa mengambil kuliah online di berbagai universitas formal – yang semakin menjamur di dalam dan luar negeri. Atau, setelah lulus At-Taqwa College.
Apa pun pilihannya, zaman baru sudah tiba! Tinggalkan pola pikir lama! SAATNYA KITA BERUBAH ATAU PUNAH! Berjuang memang tidak mudah! Maka, jalan terbaik adalah bermusyawarah dan beristikharah! Semoga Allah SWT menolong kita! Aamiin. (www.attaqwa.id, 15 Februari 2019). ***
Oleh: Dr. H. Adhian Husaeni
~Alhamdulillah At-Taqwa College mempunyai misi strategis menyiapkan generasi yang berpribadi muslim, berdaya saing global, menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme, InsyaAllah.~ (Prof. Dr. Nanang Fattah, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung).
PADA hari Senin, 28 Januari 2019, bersama dua guru Pesantren at-Taqwa Depok, saya berkunjung ke rumah Prof. Dr. Nanang Fattah, guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, di Kabupaten Bandung Barat. Selama tiga jam (19.00-22.00 WIB) kami berdiskusi. Di usianya yang sudah 68 tahun, Prof. Nanang Fattah masih tampak segar bugar, selalu bersemangat dalam berbicara.
Meskipun sudah beberapa kali berjumpa, baru malam itu saya mendapatkan gambaran yang jelas tentang ide-ide segar Prof. Nanang tentang reformasi pendidikan. Salah satu yang menarik adalah gagasannya tentang standar pendidikan. Menurutnya, pendidikan sebaiknya berpegang pada satu standar kompetensi, yaitu standar kompetensi lulusan. “Pendidikan itu based on result, bukan based on process,” tegas pakar manajemen pendidikan ini.
Untuk mencapai hasil pendidikan, bisa saja dilakukan melalui berbagai proses. Karena itulah, sepatutnya pendidikan tidak bersifat kaku dalam menentukan proses. Sekolah atau kampus bukan pabrik. Yang utama bukan seorang belajar apa saja, dimana, dan berapa lama, tetapi yang lebih penting adalah, ia bisa apa. Tiga hal yang harus dimiliki lulusan Perguruan Tinggi, yaitu integritas, kompetensi, dan inovasi.
Dalam artikelnya yang berjudul “Perguruan Tinggi Menyambut Era Disrupsi”, Rektor Universitas Negeri Semarang, Prof. Dr. Fathur Rokhman menulis, bahwa di era disrupsi, PERUBAHAN besar dan mendasar terjadi hampir di setiap bidang kehidupan. Perubahan tidak terjadi secara bertahap seperti orang meniti tangga, tetapi lebih menyerupai ledakan gunung berapi yang meluluhlantakkan ekosistem lama dan menggantinya dengan ekosistem baru yang sama sekali berbeda.
“Institusi bisnis adalah “korban” yang terdampak paling cepat. Puluhan perusahaan besar tumbang dalam waktu singkat akibat muncul pesaing baru yang tak terramalkan sebelumnya. Lembaga pemerintah seperti perguruan tinggi memang belum terkena dampak secara besar-besaran. Namun pelan tapi pasti, disrupsi juga mengancam eksistensi lembaga pemerintah. Bahkan dalam bentuk yang paling ekstrim, disrupsi juga akan mengancam eksistensi negara. Karena itulah, pepatah lama “berubah atau punah” benar-benar menemukan tajinya,” tulis Prof Fathur Rokhman.
Prof. Fathur Rokhman menyebutkan, agar selamat menghadapi era disrupsi, maka perguruan tinggi harus menyelesaikan dua persoalan internal yang membelitnya.
Pertama, harus lincah merespon perubahan. Masalahnya, sebagai “alat negara”, perguruan tinggi cenderung terikat regulasi ketat yang disusun pemerintah. Hak dan kewajibannya dibatasi secara ketat sehingga kelincahannya dalam merespon perubahan cenderung kurang.
Kedua, perguruan tinggi di Indonesia masih menganut paradigma positivisme. Padahal, positivisme kurang apresiatif terhadap perubahan. Positivisme mengasumsikan segala sesuatu bersifat pasti dan cenderung tetap; cenderung membaca perubahan sebagai proses yang terprediksikan. Padahal, faktanya, jumlah variabel dalam perubahan bisa tidak terbatas dengan peran dan pola relasi yang terus berubah. Paradigma semacam inimembuat perguruan tinggi terkungkung oleh pagar yang dibuatnya sendiri.
Karena itu, ia menyarankan, agar perguruan tinggi harus lebih peka terhadap perubahan. “Mau tidak mau kekakuan birokrasi harus ditinggalkan, lebih terbuka terhadap gagasan baru, dan lebih reflektif terhadap dirinya,” begitu saran Rektor Universitas Negeri Semarang dalam menyongsong era disrupsi.
Era Kuliah Online
Sekarang zaman kuliah online. Mahasiswa tidak perlu datang ke kampus atau ke negara asing. Cukup kuliah dari rumah atau dari negara asal, tanpa perlu meninggalkan aktivitas keseharian. Semua aktivitas perkuliahan bisa dilakukan secara virtual. Selain praktis, simpel, biaya kuliah online pun lebih murah. Bisa berkurang sampai 40%.
Beberapa kampus ternama di AS sudah menyelenggarakan kuliah online, seperti University of New Mexico, University of Oregon, The Ohio State University, Pennsylvania State University, dan University of Florida. Konon, katanya, kampus-kampus ini memiliki reputasi global. Meskipun fleksibel, katanya, lulusan kuliah online dijamin memiliki kualitas yang sama dengan kuliah tradisional.
Konon, oleh US News and World Report, program kuliah online tingkat sarjana The Ohio State University Online ditetapkan sebagai salah satu Program Online Sarjana Terbaik. Program ini mempersiapkan semua mahasiswa untuk kesuksesan karir jangka panjang.
Di Indonesia, program kuliah online juga semakin ‘ngetren’ dan makin disukai. Selain praktis, juga biayanya lebih murah. Kini, berbagai kampus di Indonesia menawarkan program kuliah online atau blended learning.
Kenapa metode ini menjadi pilihan? Kata sebuah promosi: ada berbagai keuntungan dengan metode itu: fleksibilitas jadwal belajar, proses belajar yang bisa disesuaikan dengan kemampuan setiap individu, serta lebih hemat biaya.
Sejumlah universitas di Jakarta kini bergabung dengan satu provider jasa layanan kuliah online, untuk menyelenggarakan model pembelajaran blended learning. Sebanyak 75 persen porsi kuliah dengan sistem online, dan 25 persen tatap muka, yakni, pada awal kuliah, Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester.
Memang, pemerintah secara resmi telah meluncurkan program nasional kuliah online. Pada Mei 2018 lalu, Kemenristekdikti meluncurkan “Sistem Pembelajaran Dalam Jaringan (Spada)” perguruan tinggi yang didukung dengan fasilitas sistem Indonesian Research and Education Network (Idren). Sistem pembelajaran ini mendukung program perkuliahan jarak jauh dalam meningkatkan aksesibilitas masyarakat Indonesia terhadap perguruan tinggi.
Dimana Akhlak Mulia?
UUD 1945 pasal 31 (c) mengamanahkan kepada pemerintah agar menyelenggarakan satu sistem pendidikan yang meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Nabi Muhammad saw diutus untuk menyempurnakan akhlak. Jatuh bangunnya satu bangsa tergantung kepada kualitas akhlaknya. Itu rumus baku. Maka, lagu Indonesia Raya pun mengamanahkan: bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!
Jadi, menurut UUD 1945, pendidikan bukan sekedar proses membentuk pekerja atau buruh yang terampil. Tetapi proses membentuk manusia yang baik. Dalam istilah Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia yang baik (good man). Manusia yang baik adalah manusia yang beradab. Maka, inti pendidikan adalah proses penanaman adab dalam diri seseorang (inculcation of adab).
Ingat, adab atau akhlak mulia itu harus ditanamkan dalam diri seseorang. Bukan sekedar diajarkan. Maka, proses itu perlu keikhlasan dan kesungguhan. Untuk itu, diperlukan adanya keteladanan, pembudayaan, dan disiplin penegakan aturan.
Majalah Wasita, Jilid I No.2, November 1928, menerbitkan artikel Ki Hajar Dewantara berjudul “Sistem Pondok dan Asrama Itulah Sistem Nasional”. Menurut Ki Hajar hakikat pesantren adalah terjadinya proses interaksi intensif antara kyai dan santri, sehingga terjadi proses pengajaran dan pendidikan. “Mulai jaman dahulu hingga sekarang rakyat kita mempunyai rumah pengajaran yang juga menjadi rumah pendidikan, yaitu kalau sekarang “pondok pesantren”, kalau jaman kabudan dinamakan “pawiyatan” atau “asrama”. (Lihat, buku Ki Hajar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Merdeka (I, Pendidikan), 2013, hlm. 370-371).
Dalam berbagai tulisannya, Ki Hajar Dewantara mengecam keras model pendidikan Barat yang hanya menekankan pada aspek intelektualitas. Kata Ki Hajar, “Mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak-anak kita, supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan bersusila.” (Ibid, hlm. 482).
Dengan semakin menjamur dan ngetren-nya model kuliah online, bisa dirasakan dan dibayangkan, apa yang sedang dan akan terjadi dalam dunia pendidikan. Pendidikan adab dan akhlak mulia semakin tidak mudah dilaksanakan! Padahal, inilah intisari pendidikan!
Jika pendidikan akhlak gagal, maka orang-orang pintar – keluaran perguruan tinggi – akan menjadi tidak beradab dan berakhlak bejat. Manusia-manusia seperti ini akan lebih merusak bangsa dan negara dibandingkan orang-orang yang kurang ilmunya.
Memang tragis, jika pendidikan hanya bertujuan mencetak karyawan terampil. Tetapi lebih tragis lagi, tujuan itu pun tidak tercapai. Sarjana melimpah, tetapi tidak siap pakai di dunia kerja. (https://edukasi.kompas.com/read/2018/09/06/13140861/sarjana-melimpah-tapi-perusahaan-sulit-dapat-tenaga-kerja-siap-pakai). Fakta lain, 87% mahasiswa Indonesia salah ambil jurusan! Nah, lho!
Saatnya, At-Taqwa College!
Di era disrupsi seperti inilah diperlukan bentuk lembaga pendidikan tinggi berbasis pesantren seperti at-Taqwa College. Mengapa? Sebab, di at-Taqwa College, mahasiswa/mahasantri dididik dengan konsep pendidikan berbasis adab. Proses penanaman adab atau akhlak mulia ini tidak bisa digantikan sepenuhnya oleh sistem kuliah online. Jadi, di era disrupsi, kehadiran at-Taqwa College dan perguruan tinggi sejenisnya, memang tepat dan perlu.
Penting dicatat, bahwa dalam pendidikan, adab dan akhlak mulia sepatutnya lebih didahulukan daripada ilmu, agar lulusannya tidak menjadi penjahat yang berilmu. Inilah konsep baku pendidikan yang pernah dirumuskan oleh Umar bin Khathab RA: “taddabū tsumma ta’allamū.” (beradablah kalian, kemudian berilmulah kalian).
Karena pimpinan dan mahasiswa tinggal di pesantren, maka proses penanaman nilai-nilai adab dan akhlak mulia dapat berjalan lebih intensif. Masalah adab dan akhlak ini jangan dianggap remeh, karena justru inilah aspek terpenting dalam pendidikan. Jika adab sudah tertanam, maka penguasaan ilmu akan menyusul. Sebab, salah satu adab penting adalah adab dalam mencintai dan menghargai ilmu. Manusia beradab akan mengejar ilmu-ilmu yang bermanfaat dengan sungguh-sungguh.
Juga, di at-Taqwa College, mahasiswa dibekali dengan ilmu-ilmu fardhu ain dan fardhu kifayahsecara proporsional. Mereka dibekali dengan pemikiran Islam yang benar, sekaligus kemampuan menangkal dan mengkoreksi pemikiran-pemikiran kontemporer yang merusak iman dan akhlak mulia. Karena itulah, selain mendapatkan mata kuliah Islamic Worldview, filsafat ilmu, dan beberapa bidang ulumuddin, mahasiswa juga dibekali mata kuliah tentang pemikiran-pemikiran kontemporer selama enam semester.
Untuk kesiapan menghadapi era disrupsi, mahasiswa dibekali dengan ilmu dan keahlian yang diperlukan, khususnya dua kompetensi unggulan, yaitu Teknologi Informasi dan jurnalistik. Ditambah lagi dengan ilmu kewirausahaan dan keahlian mendidik (menjadi guru). Dengan itu, soft skill para mahasiswa lebih mudah diinternalisasikan.
Maka, insyaAllah, lulusan at-Taqwa College akan mampu menjaga keimanan dan akhlaknya dalam menghadapi tantangan globalisasi. Lebih daripada itu, mereka mampu menjadi pelanjut perjuangan para Nabi, menjadi para pemimpin yang baik dalam berbagai bidang kehidupan. (Tentang at-Taqwa College dan kurikulumnya.
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, pakar pemikiran Islam internasional, memiliki harapan besar terhadap at-Taqwa College: “InsyaAllah at-Taqwa College will continue the great and integrated tradition of Islamic education especially the independent spirit of Imam Zarkasyi at Gontor and the comprehensive intellectual, ethical and civilizational vision of Prof SMN al-Attas at ISTAC! It deserves our whole-hearted support.”
Sesuai konsep ilmu dalam Islam, at-Taqwa College menekankan keikhlasan dan kesungguhan dalam mencari ilmu. Meskipun bersifat non-formal dan TIDAK memberikan gelar akademik, kurikulum at-Taqwa College dirancang setaraf dengan pendidikan tingkat S-1, dengan jumlah SKS sekitar 140, termasuk penulisan skripsi. Secara bersamaan, mahasiswa bisa mengambil kuliah online di berbagai universitas formal – yang semakin menjamur di dalam dan luar negeri. Atau, setelah lulus At-Taqwa College.
Apa pun pilihannya, zaman baru sudah tiba! Tinggalkan pola pikir lama! SAATNYA KITA BERUBAH ATAU PUNAH! Berjuang memang tidak mudah! Maka, jalan terbaik adalah bermusyawarah dan beristikharah! Semoga Allah SWT menolong kita! Aamiin. (www.attaqwa.id, 15 Februari 2019). ***
Tags:
Tabyin